Waspadai, Ini 8 Trik Penjual yang Membangkitkan Hobi Belanja



Berbicara soal belanja, tentu banyak orang menyukainya. Bahkan, ada beberapa orang yang sengaja berbelanja hanya untuk melepas stres, bukan karena benar-benar membutuhkannya.

Namun, hal itu akan membuat kita menjadi pribadi yang konsumtif. Di sisi lain, para penjual memang memiliki segudang trik yang bisa memengaruhi psikologis kita saat berbelaja.

Para penjual terkadang memainkan diskon atau memanipulasi harga, demi menarik minat pembeli.
Nah, agar tak terjebak dalam "tipuan" semacam ini dan bijak dalam berbelaja, berikut trik yang biasa digunakan penjual yang harus kita waspadai.

1. Memanipulasi dengan angka-angka pada harga

Jangan terkecoh dengan harga yang berakhir pada angka 9,99 atau 95. Ini yang disebut dengan harga pesona dan membuat kita berpikir harga tersebut adalah penawaran yang baik.

Orang cenderung membulatkan harga tersebut seperti Rp 5.299 menjai Rp 5.000. Hal semacam ini disebut dengan efek digit kiri.

Menurut William Poundstone, penulis "Priceless: The Myth of Fair Value", toko cenderung memiliki margin laba dua kali lipat dari departement store.

2. Mengecoh dengan harga satuan

Toko kelontong biasanya membuat permainan dengan harga satuan untuk mengecoh pelanggan.

Misalnya, ia menjual 10 buah kaleng sarden dengan harga Rp 50.000. Bahkan dalam promosi pun, pihak toko tetap memiliki keuntungan.

"Orang mungkin mengira harga grosir tersebut cukup murah. Padahal, pihak toko membeli harga satuan kaleng sarden itu dengan harga Rp 4.000 rupiah," kata Jeff weidauer, mantan eksekutif supermarket.

3. Menunda pemberian nota

Ketika kita melakukan pembelian dengan kartu kredit, kita mungkin tidak akan langsung mendapatkan tanda terima.

Menurut para ekonom, ini mengurangi apa yang disebut dengan "rasa sakit" saat membayar.

Kita melakukan pembelian tanpa diingatkan tentang apa yang harus kita bayar. Inilah yang membuat kita terus-menerus tergoda untuk berbelanja.

4. Menghilangkan tanda mata uang

Menurut sebuah studi di Cornell University, pengunjung menghabiskan lebih sedikit ketika menu produk menggunakan kata-kata atau tanda yang menunjukkan mata uang daripada ketika hanya angka yang digunakan untuk menunjukkan harga.

Tidak melihat pengingat fisik akan uang menciptakan jarak kognitif di kepala kita yang membuat kita lebih mudah untuk fokus pada reward, tanpa khawatir tentang biayanya.

5. Mengecoh dengan diskon

Ketika diskon mudah dihitung, orang cederung berpikir jika harga tersebut adalah tawaran yang lebih baik.

Misalnya, baju seharga Rp 200.000 dengan potongan harga Rp 50.000 tentu lebih mudah dihitung dan membuat orang tergoda untuk membelinya, daripada pakaian dengan harga yang sama namun diskon mencapai Rp 69.150.

Padahal, jika dihitung lebih teliti, diskon terakhir akan lebih menghemat pengeluaran kita.

6. Kartu pelanggan

Beberapa supermarket biasanya menawarkan kartu pelanggan dengan fasilitas diskon atau hadiah yang menyertakan frekuensi pembelian.

Semakin sering kita membeli, maka semakin besar diskon atau peluang hadiah yang akan kita dapatkan.
Menurut New York Times, pengecer berhasil menipu konsumen agar lebih banyak belanja dengan menentukan “sweet spot,” pengeluaran berdasarkan pembelian sebelumnya.

Misalnya, harga tiga paket kaleng soda akan dibuat lebih murah jika kita telah berbelanja dengan nominal tertentu. Tentunya, ini akan menarik kita untuk membelinya meski kita tidak membutuhkan soda tersebut.

7. Iming-iming kupon palsu

Kupon belanja mungkin nampak seperti alternatif penghematan. Namun, semua itu hanyalah iklan, yang terkadang juga tersedia untuk opsi termahal.

Sebuah studi belanja NYU tahun 2003 menemukan, pelanggan dengan kupon akhirnya menghabiskan rata-rata 228 dollar AS atau Rp 32.000 untuk sebuah item, sedangkan mereka yang tidak memiliki kupon memilih produk yang lebih murah rata-rata 2,07dollar AS atau Rp 29.000.

Menerut peneliti, pembelian produk mahal kemungkinan meningkat, ketika tersedia kupon penjualan untuk produk mahal.

8. Permainan kata-kata dalam diskon

Diskon selalu menggiurkan dan menarik banyak orang untuk membeli produk diskon tersebut. Padahal, harga produk saat tidak ada momen diskon pun sebenarnya tidak jauh berbeda.


Menurut analis riset Amy Noblin, cara mempromosikan diskon juga memengaruhi pembelian. Misalnya, barang yang didiskon dengan sistem "beli satu, diskon 50 persen" tentu terlihat lebih menggiurkan ketimbang "diskon 25 persen untuk semua item".


Post a Comment

0 Comments