Berbicara soal belanja, tentu banyak orang menyukainya. Bahkan, ada
beberapa orang yang sengaja berbelanja hanya untuk melepas stres, bukan
karena benar-benar membutuhkannya.
Namun, hal itu akan membuat
kita menjadi pribadi yang konsumtif. Di sisi lain, para penjual memang
memiliki segudang trik yang bisa memengaruhi psikologis kita saat
berbelaja.
Para penjual terkadang memainkan diskon atau memanipulasi harga, demi menarik minat pembeli.
Nah,
agar tak terjebak dalam "tipuan" semacam ini dan bijak dalam berbelaja,
berikut trik yang biasa digunakan penjual yang harus kita waspadai.
1. Memanipulasi dengan angka-angka pada harga
Jangan
terkecoh dengan harga yang berakhir pada angka 9,99 atau 95. Ini yang
disebut dengan harga pesona dan membuat kita berpikir harga tersebut
adalah penawaran yang baik.
Orang cenderung membulatkan harga tersebut seperti Rp 5.299 menjai Rp 5.000. Hal semacam ini disebut dengan efek digit kiri.
Menurut William Poundstone, penulis "Priceless: The Myth of Fair
Value", toko cenderung memiliki margin laba dua kali lipat dari departement store.
2. Mengecoh dengan harga satuan
Toko kelontong biasanya membuat permainan dengan harga satuan untuk mengecoh pelanggan.
Misalnya,
ia menjual 10 buah kaleng sarden dengan harga Rp 50.000. Bahkan dalam
promosi pun, pihak toko tetap memiliki keuntungan.
"Orang mungkin
mengira harga grosir tersebut cukup murah. Padahal, pihak toko membeli
harga satuan kaleng sarden itu dengan harga Rp 4.000 rupiah," kata Jeff
weidauer, mantan eksekutif supermarket.
3. Menunda pemberian nota
Ketika kita melakukan pembelian dengan kartu kredit, kita mungkin tidak akan langsung mendapatkan tanda terima.
Menurut para ekonom, ini mengurangi apa yang disebut dengan "rasa sakit" saat membayar.
Kita
melakukan pembelian tanpa diingatkan tentang apa yang harus kita bayar.
Inilah yang membuat kita terus-menerus tergoda untuk berbelanja.
4. Menghilangkan tanda mata uang
Menurut
sebuah studi di Cornell University, pengunjung menghabiskan lebih
sedikit ketika menu produk menggunakan kata-kata atau tanda yang
menunjukkan mata uang daripada ketika hanya angka yang digunakan untuk
menunjukkan harga.
Tidak melihat pengingat fisik akan uang
menciptakan jarak kognitif di kepala kita yang membuat kita lebih mudah
untuk fokus pada reward, tanpa khawatir tentang biayanya.
5. Mengecoh dengan diskon
Ketika diskon mudah dihitung, orang cederung berpikir jika harga tersebut adalah tawaran yang lebih baik.
Misalnya,
baju seharga Rp 200.000 dengan potongan harga Rp 50.000 tentu lebih
mudah dihitung dan membuat orang tergoda untuk membelinya, daripada
pakaian dengan harga yang sama namun diskon mencapai Rp 69.150.
Padahal, jika dihitung lebih teliti, diskon terakhir akan lebih menghemat pengeluaran kita.
6. Kartu pelanggan
Beberapa
supermarket biasanya menawarkan kartu pelanggan dengan fasilitas diskon
atau hadiah yang menyertakan frekuensi pembelian.
Semakin sering kita membeli, maka semakin besar diskon atau peluang hadiah yang akan kita dapatkan.
Menurut New York Times, pengecer berhasil menipu konsumen agar lebih banyak belanja dengan menentukan “sweet spot,” pengeluaran berdasarkan pembelian sebelumnya.
Misalnya,
harga tiga paket kaleng soda akan dibuat lebih murah jika kita telah
berbelanja dengan nominal tertentu. Tentunya, ini akan menarik kita
untuk membelinya meski kita tidak membutuhkan soda tersebut.
7. Iming-iming kupon palsu
Kupon
belanja mungkin nampak seperti alternatif penghematan. Namun, semua itu
hanyalah iklan, yang terkadang juga tersedia untuk opsi termahal.
Sebuah
studi belanja NYU tahun 2003 menemukan, pelanggan dengan kupon akhirnya
menghabiskan rata-rata 228 dollar AS atau Rp 32.000 untuk sebuah item,
sedangkan mereka yang tidak memiliki kupon memilih produk yang lebih
murah rata-rata 2,07dollar AS atau Rp 29.000.
Menerut peneliti, pembelian produk mahal kemungkinan meningkat, ketika tersedia kupon penjualan untuk produk mahal.
8. Permainan kata-kata dalam diskon
Diskon
selalu menggiurkan dan menarik banyak orang untuk membeli produk diskon
tersebut. Padahal, harga produk saat tidak ada momen diskon pun
sebenarnya tidak jauh berbeda.
Menurut analis riset Amy Noblin,
cara mempromosikan diskon juga memengaruhi pembelian. Misalnya, barang
yang didiskon dengan sistem "beli satu, diskon 50 persen" tentu terlihat
lebih menggiurkan ketimbang "diskon 25 persen untuk semua item".
0 Comments